Surat untuk Adik

By

Hei. Sudah lama aku tak menulis surat. Kamu masih menyukainya? Semoga masih, ya. ๐Ÿ™‚ Anyway, aku baik-baik saja di sini. Gimana kabar mama dan Mr. Basuki Sastronegara? ๐Ÿ™‚ But, the most important is HOW ARE YOU, Little Brother? Miss ya.

Am sorry to leave you alone there. Seakan-akan kamu enggak punya kakak untuk berbagi setelah seharian di luar rumah. I miss every moment we had, Banyu. Aku baik di sini. Kerjaan di kafe bengkel itu juga berjalan lancar. Ada saja pelanggan yang lucu; dan ada saja yang buat aku belajar. Di sini, aku enggak kerja sendirian. Namun, bisa dibilang jumlah pekerjanya sangat minim. Aku ada rekan di sini, namanya Gerry. He is a nice guy and he reminds me of my little brother. ๐Ÿ™‚

Banyu, dalam surat ini aku tidak akan bercerita panjang lebar tentang pekerjaanku. Aku ingin berbagi tentang satu hal penting yang terjadi dalam hidupku. Seretak apa pun keluarga kita karena aku, aku berusaha menjadi kakak yang baik untukmu dan anak yang baik untuk mama. Aku tidak lagi semurka itu dengan papa. Ayah kita memang tahu yang terbaik untuk kita–anak-anaknya. Hanya saja, yang baik untukku menurut aku sendiri tidak pernah beliau tanyakan. Kamu tahu kakakmu ini keras kepala dan menyebalkan; dan aku tidak menyangkal hal itu. Kala itu–ketika aku memutuskan untuk minggat–aku sangat ketakutan. Namun, pembelaanku adalah seperti ini: aku sangat takut tidak bisa menjadi diriku sendiri karena kehendak orang lain–meski itu adalah orang tua sendiri. Berat rasanya meninggalkan kamu dan mama–orang-orang yang entah berapa kali mendapatkan perlakuan tak baik darinya. Aku tidak mau ungkap apa pun atau ekspos papa ke kalangan luas. Yang dilakukannya merupakan tanggung jawabnya meskipun keluarga tetap menanggungnya. Aku mau menanggung itu bersama dengan kalian. Namun, aku tidak bisa menanggung harapannya atasku dan membiarkan diriku tertekan karenanya. Kamu ngerti kan, Nyu?

Well, one important thing I would like to share with you is … It is about something that I was longing for. Kamu sudah melihat naik-turunnya aku, terutama 5 tahun terakhir ini. Aku mencoba untuk mencari tahu yang namanya kasih Tuhan yang selalu kita dengar di setiap kebaktian yang kita ikuti. I failed to see that in our family. I should rephrase that: failed to see that in our father. But, I do believe that you and mama are awesome people and you two have the love people need. Karena kalianlah, aku bisa melihat bahwa aku masih berharga sebagai aku. Aku bisa bertahan dan berjuang dari nol karena doa kalian. Huft. Miss you two so much~ Aku berharap aku bisa berkunjung ke rumah–well, how funny it is: “berkunjung” ke rumah. ๐Ÿ™‚

And yes… Back to the important thing. ^^,) Aku dalam fase baik dan tenang, Nyu. Selain kerja di kafe bengkel, aku sekarang kerja paruh waktu. Aku bisa mengembangkan kreativitasku di dunia tulis-menulis lagi. Beberapa perusahaan mempercayakan pembuatan jargon dan slogan perusahaan mereka ke aku. How’s that? Hahaha.. And one more thing. I am seeing someone, Banyu. Aku rasa ada senyuman kecil di wajahmu sekarang. Hahaha… Did I guess it right? ๐Ÿ˜‰ Yes, I am with someone now. Aku somehow tahu bagaimana pikiranmu tentangku. You have seen so much about me since we were kiddos. Jadi, aku akan cerita jujur sama kamu. I won’t use “he” or “him” since it is a she. ๐Ÿ™‚ I am sorry I don’t give you a brother in law, Dude. ๐Ÿ˜€

Namanya Dikara Suwirya. Panggilannya Dikara–atau Kara.

*

Hujan masih turun, tetapi sekarang mereda. Banyu duduk di sofa dekat jendela kamarnya. Kesejukan mengisi relung hatinya. Bukan karena hujan yang membuatnya merasa itu. Ditumpangkannya kepala di kaca jendela, ia tersenyum. Diambilnya ponsel pintar yang sejak tadi tak disentuhnya. Jarinya mencari satu nama: Khaenan Hawa.

Nada panggil disimaknya baik-baik.

Banyu? suara di seberang.
Dia tahu kakaknya bahagia dan saat ini itulah yang terpenting baginya.

***