Teruntuk Mantan

By

Untuk mantan yang terakhir.

*

Sumber: shorturl.at/oY234

Ytk. Mantan,

Surat ini mungkin tiba di tanganmu ketika engkau sedang bekerja, sedang bersama keluarga kecilmu, atau mungkin sedang pada waktu santaimu. Ketika engkau membacanya, mungkin tidak ada sebersit apa pun rasa. Tak kuharapkan rasa yang dulu karena sudah sangat jelas alasan engkau memutuskan untuk berhenti terhadap “kita”.

Dalam surat ini, aku tidak mengungkit yang lalu. Memang masih ada namamu keluar dari mulutku ketika aku sendiri. Entah mengapa kata itu keluar begitu saja. Namun, percayalah bahwa aku tidak mengharapkan apa-apa dari “kita” lagi.

Bayangkan gelas yang diisi air dan air itu tidak pernah digunakan, entah untuk diminum, digunakan untuk mencuci, atau dibuang saja. Gelas itu akan kotor. Mungkin tidak terlihat awalnya. Lama kelamaan bisa kita bayangkan seperti apa. Aku seperti gelas itu.

Intensi untuk berteman baik bisa diterima. Siapa yang tidak senang berteman dengan orang sepertimu. Aku bertumbuh menjadi orang yang lebih peka dan melihat hal-hal dari sudut pandang yang lebih rasional. Aku tahu aku berubah menjadi yang dulu kuinginkan. Dirimu “membantu” dengan caramu. Bahkan, pembicaraan masa lalu sudah menjadi bahan tawa dan canda. Akan tetapi, mungkin masalahnya ada di diriku. Mungkin aku yang belum move on. Mungkin aku yang belum tahu cara berdamai. Mungkin aku belum kelar. Mungkin saja.

Satu hal jujur ingin kutuliskan di sini setelah sekian lama aku menyimpannya. Sejujurnya, aku selalu merasa energi dan frekuensi kita tidak selaras. Bahkan, sejak pertemuan awal kita. Setidaknya, itu yang kurasakan. Engkau pernah berkata bahwa bersamaku engkau tidak bisa menjadi dirimu sendiri–dan hal itu menyedihkan. Saat ini, aku sampai pada tahap sadar bahwa aku seperti gelas tadi. Engkau baik–bahkan baik-baik saja–tetapi energimu terlalu kuat mengisiku. Aku tak bisa mengontrolnya selain hanya mendiamkannya sehingga lama-lama aku tergerus dan gelisah. Mungkinkah hal seperti ini terjadi? Rasanya mungkin.

Ketika membaca ini, mungkin engkau mengerti arah surat ini. Semesta masih mempertemukan kita pada berbagai kesempatan. Pada setiap waktu pertemuan kita, aku mengingatkan diriku sendiri untuk menjaga batas agar keruh yang aku rasakan ini tidak mempengaruhimu–atau aku tidak ingin memberikan dampak buruk lagi kepadamu. Jadi, aku berhenti menjadi “teman” karena lebih baik rasanya aku menjadi “rekan”. Dengan batasan itu, maka aku bisa tidak terus-menerus tergerus dan tidak menggerusmu juga.

Aku tidak berharap engkau langsung menerima dan mengerti isi surat ini. Melalui surat ini sajalah, aku bisa menuangkan yang kurasakan. Aku tidak sanggup berhadapan langsung denganmu untuk membicarakan ini karena bagiku engkau seperti ombak tinggi yang siap menyeretku dan menenggelamkanku–tanpa engkau bermaksud seperti itu, mungkin. Aku takut; dan sejujurnya aku selalu takut berhadapan denganmu.

Baiklah. Surat ini aku simpan di sini. Entah kapan engkau akan membacanya. Semesta yang akan mengaturnya dan menjagamu ketika membacanya.

Terima kasih.

Salam,

Eri