I commit to not commit

By

Agar bisa memahami konteks cerita ini, pembaca disarankan untuk membaca cerita sebelumnya yang berjudul “Perkenalan: Kyati dan Agra”. Untuk nama tokoh “Ae” sendiri, karakter fiksi ini telah muncul dalam cerpen-cerpen sebelumnya. Selamat membaca!

Setelah sekian tahun yang tak terhitung, Kyati muncul di lokasi temu dengan sahabatnya, Ae.

“Kyati Darsana, hai,” sapa Ae dengan senyuman lebar.
“Khaenan Hawa. I can’t believe I finally see you. Again,” balas Kyati sembari memeluk erat sahabat kecilnya itu.
“Kayaknya kalimat itu lebih cocok dari gw ke lo. Lo yang “nyelam” berapa tahun. Enggak ada kabar apa pun. We couldn’t reach you out. We barely even talk anymore,” celoteh Ae.

Kyati menatap Ae dengan heran sambil tersenyum.

“What?” tanya Ae tak mengerti.
“You are different now. How’s Dikara?”

Ditanya seperti itu, sontak Ae tersenyum lebar. Dipamerkannya senyum andalan yang berarti hanya tersenyum dan tidak bersedia menjawab.

“I know, I know. I am happy for you two, tho,” respons Kyati. “Udah pesan?”
“Yap. I got you lemon soda, less ice.”
“Thank you, Dear.”

Pada siang itu, matahari terlalu sombong. Teriknya tak main-main. Namun, pertemuan mereka justru menyejukkan hati keduanya. Kyati dan Ae sudah lama tak berjumpa. Ketika Ae berada pada masa suramnya, Kyati tidak ada. Akan tetapi, Ae pun tahu Kyati ada pada masa suram dengan peristiwa yang serupa. Ia diusir oleh keluarganya dan setiap dukungan keuangan dicabut setelah dirinya mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Untuk menenangkan diri dan mengembangkan keahliannya di bidang tulis-menulis, Kyati memutuskan untuk pergi dari tanah air. Ia hanya tahu semesta akan berpihak padanya kelak. Benar saja. Namanya tidak dipandang sebelah mata bagi yang mengetahuinya.

Di sinilah Kyati sekarang–kembali ke tanah airnya. Dia tidak mengharapkan penerimaan keluarganya lagi. Dia merasa cukup pada saat ini dengan bisa menjalani kehidupannya. Namun, ada yang mengganjal pikiran Ae: kenapa Kyati kembali?

“Di sana, karier lo bagus, kan? Gw baca di koran nasional bahwa lo mendapatkan penghargaan. Tulisan lo menggelitik sejumlah pihak praktisi pendidikan sehingga sistem pendidikan lebih terbuka akan perbedaan kebutuhan siswa. That’s a good one.”
“Thank you,” balas Kyati cepat.
“Then, why you came back?” tanya Ae penasaran.
“I guess… I miss you?”
“You’re kidding me.”

Tawa mereka pecah.

“I guess, I am afraid”, sambung Kyati.
“Takut sama? Bukannya justru di sini, ya, yang lebih mengerikan?”
Kyati tersenyum. “Ya, kalau kita ngomongin soal “itu”, soal gimana gw dan lo dan preferensi kita, yes. Di sini lebih menakutkan.” Kyati terdiam. Dia tampak berpikir tentang kalimat selanjutnya. “I don’t think a commitment is my thing, Ae.”

Ae menggangguk-anggukkan kepalanya tanda dia sangat mengerti. Kyati merupakan seorang manusia yang tahu yang dikerjakannya, giat dan bertanggung jawab, dan melakukan segala sesuatunya dengan bebas–dengan caranya. Ketika seseorang mendekati dan menawarkannya sebuah kesepakatan atau perjanjian, maka Kyati Darsana akan menjadi debu yang terbang terbawa angin.

“So, you got a responsibility there. Big promotion?” tanya Ae.
“Sort of.”
“And you just turn it down.” Ae menyimpulkan.
“I naturally turn it down.”

Mereka terdiam. Mata mereka saling menatap. Kemudian, tawa mereka pecah lagi.

“Oh my God. Commitment is surely not your thing,” tutur Ae, “Cuma, di sini lo juga akan dealing dengan itu juga. What makes it different, then?”
“Gw cuma merasa ada yang berbeda kalau gw balik, Ae. Gw merasa gw akan menemukan-nya di sini.”
“Menemukan apa? Jodoh?” Ae tertawa kecil. “Do you believe on that? Seingat gw, cowok-cowok–atau cewek-cewek–itu juga pada down dengan sikap lo.”
“I know, I know.”
“Do you think you have changed?” Ae menatap sahabatnya cukup tajam. Pertanyaannya tidak diduga sehingga Kyati terdiam.

“Is it wrong?” tanya Kyati.
“Menurut gw, lo bisa berkomitmen. Cuma, lo enggak bisa “diikat”. Lo butuh ruang untuk diri lo. Enggak semua orang tahu itu. Berteman sama lo mengajarkan gw untuk menghargai ruang orang; juga ruang gw sendiri. Dan sebenarnya lo bisa sampaikan bahwa lo butuh ruang.”
“Enggak semua orang mengerti tentang konsep “ruang”. Gimana kalau …”
“You think too much, Kyati. You overthink everything. Always. Lo maju, tetapi lo memilih mundur setelahnya. Kemudian, lo maju lagi, tetapi lo enggak sampai-sampai. Ngerti maksud gw?

Pelayan mendatangi meja mereka, lalu bertanya, “Permisi, gelas kosongnya bisa saya angkat?” Mereka berdua mengangguk bersamaan.

“I commit to not commit,” kata Kyati.
Ae tersenyum. “I knew you will say that.”

Mereka tertawa. Mereka menertawakan kehidupan ini. Saat ini, mereka menertawakan kegalauan Kyati.

“Trus, kalau nanti ada yang mau berkomitmen dengan lo, akan lo jawab apa?”

Dari meja sebelah, tampak seorang laki-laki yang sedang menikmati makanannya. Namun sebenarnya, ia menyimak perbincangan kedua perempuan yang tak dikenalnya itu. Ia merasa relate karena ia menghadapi pergulatan batin yang sama tentang komitmen. Menjelang suapan terakhirnya, dia menoleh ke arah meja tersebut. Laki-laki yang disapa Agra oleh koleganya itu terhenti gerakannya ketika melihat sosok yang sedang berbicara. Ia merasa tahu, tetapi entah di mana dan kapan. Kyati yang sedang berbicara merasa diperhatikan, kemudian ia menoleh. Di situ, entah mengapa Agra dan Kyati merasakan “diam dalam rasa”–seperti yang diceritakan di cerita dengan judul yang sama.

***