Tim Kerja JBI: Collaborative dan Interdependence

Dalam praktik kerja juru bahasa isyarat (JBI), hampir selalu disarankan agar mereka tidak bekerja sendiri–setidaknya dua orang dalam satu kali penugasan. Tentu saja hal ini perlu disesuaikan dengan durasi dan beban kerja. Untuk situasi di Indonesia, kerja sama dalam tim masih menjadi tantangan. Tantangan yang pertama berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia. Dari postingan terakhir saya tentang penjurubahasaan, seorang rekan dari pulau lain menyampaikan sulitnya melakukan kerja sama tim JBI karena tidak ada JBI lain selain dirinya di area tempat tinggalnya. Persoalan ini perlu menjadi diskusi lanjutan dengan komunitas atau organisasi Tuli, baik nasional maupun lokal terkait pengembangan guru-guru Tuli untuk mengajarkan bahasa isyarat demi bibit-bibit juru bahasa isyarat dengar.

Dalam bertugas, ada tiga bentuk kerja lapangan. Bentuk pertama, adanya “on interpreter” dan “off interpreter” dalam sebuah tugas bersama. Dalam bentuk ini, JBI yang sedang menjalankan tugasnya disebut sebagai “on interpreter”. Dalam praktik kerjanya, yang dilakukannya adalah bekerja secara independent–baik dari segi kapasitas maupun dari segi kerja sama tim. Yang dimaksud independent atau mandiri dari segi kapasitas adalah dirinya yang sudah mumpuni atau kapasitasnya memenuhi untuk kebutuhan tugas saat itu. Dalam proses kerjanya, “on interpreter” melakukan tugasnya saja sebagai penyampai pesan. Rekan kerjanya disebut sebagai “off interpreter” karena keberadannya di sana hanya sebagai tandem yang hadir tetapi keduanya memiliki tugas yang terpisah satu sama lain. Hal ini bisa saja terjadi jika ada pembagian tugas untuk setiap pembicara atau pengguna isyarat, seperti ketika ibadah, upacara, atau debat. Namun, itu lain soal dan tidak saya bahas di sini. Dengan posisi kerja seperti “on-off interpreter” ini, maka keduanya hanya menjalankan individual task dan pergantian di antara keduanya sebatas untuk menjaga daya konsentrasi dan tenaga setelah bertugas 15–20 menit atau 30 menit.

Bentuk yang kedua dengan istilah “feed interpreter” dan “on interpreter”. Keberadaan “feed interpreter” adalah untuk mendukung atau men-supply juru bahasa isyarat yang sedang “on” dengan informasi yang mungkin terlewat, seperti kosakata, atau juga ketika JBI tersebut tidak tahu bagaimana cara mengisyaratkan sebuah tuturan atau isyarat. Maka, feeding ini bisa dilakukan. Selain itu, “feed interpreter” bisa memonitor “on interpreter” dan mengoreksi jika dibutuhkan. Akan tetapi, bentuk seperti ini sepertinya sering dirasa defensif untuk JBI meskipun tidak untuk semua. Ada rasa tidak nyaman ketika dimonitori meskipun tidak bermaksud untuk menge-judge. Sinyal dari “feed interpreter”, seperti anggukan sebenarnya bisa menjadi bantuan untuk mengecek apakah isyarat yang diproduksi sudah akurat atau sesuai dan wajar, tetapi ekspresi wajah sebaliknya bisa menjadi tekanan bagi “on interpreter”. Kecanggungan dan ketidakpercayaan diri masih menjadi hal awam dan hidup ketika rekan tandem memperhatikan kita saat bekerja. Dimonitor tidak berarti dihakimi. Untuk hal ini, saya rasa JBI perlu membiasakan diri. Salah satu yang perlu dibiasakan adalah melakukan evaluasi tim dan evaluasi diri setelah bertugas. Pembiasaan perlu dilatih untuk menerima evaluasi dan mengevaluasi rekannya. Tujuan bekerja secara tandem adalah bukan untuk menunjukkan siapa yang hebat, tetapi untuk menjaga kualitas pesan dan informasi yang disampaikan kepada penerima manfaat atau klien. Berdasarkan pengamatan saya, kecsnggungan untuk evaluasi seperti ini biasanya muncul ketika kombinasi pasangan JBI yang bekerja merupakan pasangan yang memiliki jam terbang tinggi/dari kota besar/usia lebih tua vs JBI yang masih dengan jam terbang rendah/dari kota kecil/daerah/usia lebih muda. Untuk mengurangi rasa segan atau kesenjangan, maka keterbukaan di antara JBI akan kebutuhan dalam sistem kerja bertandem perlu diungkapkan agar saling tahu dan bisa saling mendukung. Selain itu, rasa percaya diri juga perlu dilatih dan ditingkatkan.

Bentuk yang ketiga adalah “Interpreter 1” dan “Interpreter 2” yang saling mengisi. Juru bahasa isyarat dituntut untuk mampu berkolaborasi untuk mendorong kinerja yang baik demi tercapainya layanan penjurubahasaan yang sesuai dan baik. Kolaborasi ini tidak hanya terjadi ketika menjalankan tugas penjurubahasaan, tetapi juga dalam pratugas serta pascatugas. Dengan kata lain, JBI bertugas sebagai individu (a single unit) yang berkolaborasi dengan rekan tandem. Team interpreting bisa digambarkan seperti pilot dan co-pilot yang sedang menerbangkan pesawat. JBI yang sedang bertugas (“Interpreter 1” atau “Interpreter 2”) sebagai pilot yang sedang menerbangkan pesawat dan JBI lainnya berperan sebagai co-pilot yang memonitori, mengecek situasi kerja/kelengkapan/performa, memberikan dukungan input (isyarat, pemaknaan). Peran ini pun berlangsung secara bergantian.

Nah, sekarang apa hubungan ini semua dengan collaborative dan interdependence? Collaborative teamwork merupakan sebuah aksi dan relasi dengan keterlibatan orang-orang dalam tim itu (dalam hal ini adalah JBI). Relasi ini merupakan relasi yang saling mendukung dan bergantung serta memiliki koneksi dan menjaga komitmen kerja. Interdependence sendiri menggambarkan kondisi JBI yang mampu bekerja dengan kapasitas yang sesuai dengan tuntutan kerja (independent) dengan tetap saling mendukung dalam menjaga kualitas kerja (dependent). Dalam interdependence ini, adanya usaha yang seimbang dari kedua pihak JBI (mutual effort), komunikasi yang baik, bekerja secara jujur, dan keterbukaan untuk bekerja bersama. Dengan demikian, ada dua komponen yang bisa ditarik dari sini, yaitu berkomitmen untuk bekerja bersama dalam mencapai tujuan penjurubahasaan dan memiliki kompetensi penjurubahasaan dan kerja sama tim. Dengan dilakukannya hal-hal tersebut, maka hasil penjurubahasaan akan berdampak baik, kuat, dan luas.

Dalam praktik kerja di lapangan, selalu ada yang baru dan menjadi poin baru yang menjadi catatan saya untuk perbaikan dan peningkatan. Hal-hal itu datangnya bisa dari diri saya sendiri dan juga tentu saja dari orang lain yang melihat kita bekerja. Siapa lagi kalau bukan rekan kita dan kalaupun beruntung kita bisa mendapat masukan dari klien atau penerima manfaat kita.

Maka, terbukalah akan saran, kritik, dan masukan untuk kita dan bijaksanalah dalam memberikan semua itu kepada rekan atau mungkin klien kita. Tumbuh bersama adalah harapan kita. Kenapa tidak kita memulainya?

***

Daftar Pustaka

Hoza, J. (2010). Team Interpreting: As Collaboration and Interdependence. Alexandria, VA: RID Press.